filsafat#1: Menari-nari di seutas tali lembah jurang bersama Friedrich Nietzsche

Andreas Cornelius P.
5 min readFeb 15, 2020

Lagi-lagi, hal itu membuatku tumbang. Lagi-lagi otakku lupa akan semua yang sudah ku simak. Akselerasi neuronku sudah tidak secepat yang dulu. Insomnia, sosok yang menemaniku fit hingga esok siangnya. Sedikit peduli, aku melirik cermin yang sudah sedikit retak , lalu mendekatkan kedua mataku, kantong hitam sudah berumur 3 bulan, aku bergegas menuju ranjang. Entah mengapa sangat sulit untuk meluangkan waktu merapikan sprei klub sepak bola yang ditukangi Sir Alex Ferguson itu. Hujan, sore itu lagi-lagi membuatku meninggalkan laptop yang menyala terbuka, meninggalkan jejak romansa yang acap kali dijuluki “si pembunuh Tuhan“ oleh kaum penganut teisme. Ia kurang berhasrat pada kemurnian logis, begitu yakin dengan keyakinan-keyakinannya sehingga tidak membutuhkan pembuktian apapun.

“Saya lebih suka tidak ada yang benar daripada Anda yang benar, daripada kebenaran Anda yang akan menang.”

Yah, begitulah, kodratnya memang untuk bertempur, bukan untuk mencari kemenangan, akan tetapi murni untuk mengukur kekuatannya. Ia seorang imoralis sejati sekaligus pembenci bapak moral kita. Penulis sendiri kurang tahu skala kebencian Nietzsche terhadap Socrates.

Iya, Nietzsche, bernama lengkap Friedrich Wilhelm Nietzsche, sosok Filsuf bertubuh kecil dan lemah namun pemikirannya meledakkan Eropa. Ia lahir di Rocken, Prusia 15 Oktober 1884. Tanggal ini bertepatan dengan tanggal lahir Raja Prusia Friedrich Wilhelm, sehingga ayahnya memberikan nama depan Raja Prusia tersebut.

Tak dapat dipungkiri bahwa seorang Nietzsche kecil hidup dalam lingkungan keluarga yang beragama. Mengingat riwayat ayahnya adalah seorang pendeta dan kakeknya seorang teologi. Kegemarannya membaca acap kali menjadi alat untuk menciptakan aliran filsafat anti-mainstream-nya itu. Aliran filsafat Nietzsche transparan dan tidak berwarna, apabila ada satu kata yang dapat mendeskripsikannya maka mungkin ia juga akan menolaknya. Begitulah dia, ia seorang ateis dengan caranya sendiri, sulit dideskripsikan namun percayalah ia tidak suka dikotak-kotakkan.

Akan menjadi sebuah peringatan apabila baginya kita bisa untuk tidak percaya pada apapun, ilustrasinya seperti menari di atas seutas tali tambang yang di bawahnya adalah jurang. Sulit dan hampir tidak mungkin untuk dilakukan.

Insting budak yang membunuh Tuhan
Bagaimana mungkin dari keluarga teisme pada akhirnya menghasilkan pikiran untuk mewartakan kematian Tuhan dan tuhan-tuhan: “Gott ist tot! Gott bleibt tot! Und wir haben ihn getötet! (Tuhan sudah mati! Tuhan terus mati! Kita telah membunuhnya). Pewartaan tersebut muncul di abad 19 saat-saat dimana meledaknya era scientiste-positiviste di Eropa. Implikasi dari kalimat tersebut sangatlah luas dan multitafsir, yang kemudian mengiring bukan hanya satu atau dua pembaca bahkan penulis yang salah tafsir akan hal itu. Merujuk pada pengertian A. Setyo Wibowo, bagi Nietzsche untuk sebagian orang kematian Tuhan seperti redupnya matahari, toh masih bisa menciptakan matahari yang lain. Bagi sebagian orang lainnya, ini adalah masalah serius dan sangat-sangat serius, kehilangan makna, inti dari kita dicabut, bukan hanya metafisika, moral, bahkan melahirkan nihilisme. Seperti halnya Ia yang selalu mengambil jalan tengah, Nietzsche dalam teksnya akan mengatakan bahwa, “kita yang sudah sedemikian terasah, sedemikian teruji, sedemikian imoralis, dan kita menjadi para penebak enigma”. Kita membunuh kata saat kita membakukan suatu hal atau idée fixe dalam bahasa Hector Belioz. Kita membunuh kata saat kita memfixkannya, dalam substitusi lain kita membunuh Tuhan saat kita memfixkannya. Contoh fenomena yang bisa kita lihat saat sekelompok teroris yang memegang moralitas yang sangat strict dan reduktif, hitam-putih sangat jelas, siapa kawan-siapa lawan dan bahkan tanpa segan-segan membunuh lawan demi kemakmuran sebuah realitas yang ia pegang, dan ironisnya hal itu dilakukan atas nama Tuhannya. Dan persis dengan perilaku yang seperti itulah sebetulnya orang beragama secara budak sedang membunuh Tuhan.

Übermensch, pewartaan Zarathustra

Zarathustra adalah figur yang diwartakan oleh Nietzsche dalam bukunya yang berjudul Thus Spoke Zarathustra. Kemudian Zarathustra mewartakan figur Übermensch yaitu manusia super atau manusia unggul. Übermensch itu sendiri multitafsir Nietzsche tidak ingin sesuatu yang ditafsirkannya memiliki pandangan yang sempit, sederhana, dan mudah ditebak. Akan tetapi, dia sadar akan kompleksitas kebenaran yang dikritik. Apapun itu, menurut A. Setyo WIbowo, rentang antara binatang dan Übermensch adalah jalan yang ditempuh oleh manusia. Apabila Ia berbalik, maka ia kembali pada hakikatnya sebagai binatang. Apabila orang tersebut maju maka ia akan menjadi Übermensch. Übermensch itu sendiri tidak ada, menurut penulis itu hanyalah pewartaan fiktif oleh Nietzsche untuk mencoba mengilustrasikan kepada pembaca.

Bukan pula Nietzscheism, atau Nietzschean, bukan juga the Seagulls .. hah itu apa? cari aja. Ia tidak mau diikuti dan tidak pernah sekalipun memiliki pemikiran untuk meet & greet. Adapun ungkapan-ungkapan lain adalah hasil dari legitimasi atas apa yang dipikirkan oleh pengikutnya. Nietzsche sendiri menghendaki agar kita memiliki kehendak penuh atas diri kita. Kalau hal tersebut sudah anda laksanakan, maka selamat anda menjadi salah satu pengikut Nietzsche.

Kefanatikan fanatisme

Merujuk ke genealogi Nietzsche, manusia itu butuh untuk percaya (sesuatu membutuhkan sesuatu). Kalau sebagian dari kita menganggap bahwa fanatisme itu sendiri datangnya dari lemahnya tingkat pendidikan yang ditempuh oleh seseorang, maka menurutnya fanatisme itu sendiri dalam kepercayaan lebih ditentukan oleh internal kebutuhan kepercayaan individu itu sendiri dan bukan terutama tentang kualitas atas pengetahuan sesuatu. Adanya keinginan hendak memiliki sesuatu yang stabil secara absolut mengiring manusia butuh sandaran stabil agar eksistensinya untuk hidup memiliki jangkar sebagai pondasi biar ga ngawang. Tapi bagaimanapun juga dampaknya tak terelakkan bagi mereka, dan apabila ada seorang yang menanyakan bagaimana UFO / bumi datar itu mempengaruhi kaumnya, itu sama seperti menanyakan bagaimana seseorang telah dipengaruhi oleh sepenggal musik yang sangat revolusioner, katakanlah Billie Eilish. Orang tidak dapat menuturkannya, hanya karena melihat dan merasakan hal-hal tersebut dengan cara yang berbeda, setidaknya untuk sementara waktu. Kemudian menjadi binasa. Kefanatikan itu sendiri menurutnya melahirkan insting budak (orang yang menganut kepercayaan). Dia menyimpulkan bahwa kehendak dan kepercayaan itu berbanding terbalik. Apabila seseorang memiliki kehendak kuat maka ia memiliki kepercayaan lemah dan sebaliknya.

Jadi siklusnya adalah apabila orang sedang dalam keadaan darurat (S.O.S) dan butuh pegangan maka ia akan jatuh dalam fanatisme. Fanatisme menciptakan hipertropi sudut pandang konseptual dan hipertrofi afektif partikular, dan as a result ia akan terhipnosis. Contohnya, kita disuguhkan dengan huruf ‘TRUMP’, kita hanya bisa baca huruf ‘U’ dan ini akibat dari si hipertrofi sudut pandang, dan si hipertrofi afektif efeknya keterikatan oleh huruf ‘U’ tersebut, kemudian orang-orang normal yang baca ‘TRUMP’ akan disikat habis hwehwe.

Beyond Good and Evil

Menjadi seorang imoralis adalah jalan ninjanya, yang berarti tidak perlu membedakan mana yang buruk dan mana yang baik. Kembali lagi, hal tersebut akan menciptakan self-contradiction yang ia buat dimana menurut A. Setyo Wibowo, filsafat Nietzsche menetap pada pertentangan antara idée fixe (ide yang fiksatif, ide final, yang terakhir) dan idée fluxe (ide menjadi). Baginya keabsolutan atas standar moral ialah nihil.

Wujud manusia serta pemikiran ideal seperti apakah Übermensch? Adolf Hitler kah? atau Donald Trump?

Apapun itu, saya berterima kasih kepada Nietzsche yang mengantarkan saya pada metafisika dan epistemologi anda, serta Izinkan saya meminjam perkataan Nietzsche, tulisan ini adalah kumpulan dari ‘kekeliruan’ yang untuk sementara waktu dibenarkan.

“Every deep thinker is more afraid of being understood than of being misunderstood.”

Friedrich Wilhelm Nietzsche

--

--